KIU TAO
KIU TAO
KIU TAO
Innocence / Pathok Bangkrong
Innocence / Pathok Bangkrong
Innocence / Pathok Bangkrong
Soundscape
Kiu Tao mewakili nasib manusia yang merangkul malapetaka dan keberuntungan di mana kita melatih diri untuk menjadi
makhluk berbudi. Judul karya kesembilan melambangkan totalitas manusia dalam menjalani kehidupan sesuai dengan keputusan yang telah diambilnya. Kita dapat mundur selangkah ketika menghadapi suatu persoalan, dan setelah itu kita akan melihat delapan penjuru alternatif solusi yang dapat dipilih untuk kemudian dirumuskan dan dijalani.
Bencana berubah menjadi keberuntungan melalui proses perumusan dan penanganan yang tepat. Dalam konteks penciptaan seni, Kiu Tao adalah penataan seluruh area Lansekap Seni, yang terdiri dari lahan, tanaman, bangunan, dan karya The Tao of Bamboo yang tumbuh di atasnya. Kiu Tao mewujudkan totalitas Lansekap Seni sebagai laboratorium berwawasan lingkungan di mana eko-seniman mendidik dan menaikkan tingkat kecerdasan batin diri dan kecerdasan alam.
Kiu Tao tidak hanya menggunakan tanaman bambu sebagai medium utamanya, tetapi juga seluruh jenis grasses (rumput-rumputan) yang tumbuh di lahan Lansekap Seni, mulai dari rumput terkecil yang berguna sebagai tanaman pelindung atau selimut tanah, hingga rumput raksasa (giant grasses) yang biasa disebut sebagai bambu. Kiu Tao berwujud sebagai lansekap yang dihiasi hamparan ornamen horizontal yang memiliki tekstur dan warna yang bervariasi, terbuat dari berbagai jenis rumput-rumputan. Melalui karya ini, Kiu Tao mengajak kita untuk memasuki semesta rumput, salah satu tumbuhan penting dalam jaring kehidupan masyarakat setempat, yang akan terus tumbuh kembali walau ‘dibersihkan’ ketika menjelang hari kemerdekaan, disemprot herbisida karena dianggap sebagai gulma, dibekap mulsa plastik agar tak bisa tumbuh.
Namun, saat musim kemarau tiba, rumput diperebutkan oleh manusia, ditanam berderet sebagai penghalang serangga, dan bahkan beberapa jenis rumput tertentu (tanaman padi) kerap dijadikan komoditas politik dan ekonomi untuk mengeruk keuntungan dari anggaran belanja negara dengan sebutan revolusi hijau. Dampak negatif revolusi hijau ini dapat dirasakan hingga kini, yaitu masa kelam budaya agraris bangsa Indonesia.
Kiu Tao mewakili nasib manusia yang merangkul malapetaka dan keberuntungan di mana kita melatih diri untuk menjadi makhluk berbudi. Judul karya kesembilan melambangkan totalitas manusia dalam menjalani kehidupan sesuai dengan keputusan yang telah diambilnya. Kita dapat mundur selangkah ketika menghadapi suatu persoalan, dan setelah itu kita akan melihat delapan penjuru alternatif solusi yang dapat dipilih untuk kemudian dirumuskan dan dijalani.
Bencana berubah menjadi keberuntungan melalui proses perumusan dan penanganan yang tepat. Dalam konteks penciptaan seni, Kiu Tao adalah penataan seluruh area Lansekap Seni, yang terdiri dari lahan, tanaman, bangunan, dan karya The Tao of Bamboo yang tumbuh di atasnya. Kiu Tao mewujudkan totalitas Lansekap Seni sebagai laboratorium berwawasan lingkungan di mana eko-seniman mendidik dan menaikkan tingkat kecerdasan batin diri dan kecerdasan alam.
Kiu Tao tidak hanya menggunakan tanaman bambu sebagai medium utamanya, tetapi juga seluruh jenis grasses (rumput-rumputan) yang tumbuh di lahan Lansekap Seni, mulai dari rumput terkecil yang berguna sebagai tanaman pelindung atau selimut tanah, hingga rumput raksasa (giant grasses) yang biasa disebut sebagai bambu. Kiu Tao berwujud sebagai lansekap yang dihiasi hamparan ornamen horizontal yang memiliki tekstur dan warna yang bervariasi, terbuat dari berbagai jenis rumput-rumputan. Melalui karya ini, Kiu Tao mengajak kita untuk memasuki semesta rumput, salah satu tumbuhan penting dalam jaring kehidupan masyarakat setempat, yang akan terus tumbuh kembali walau ‘dibersihkan’ ketika menjelang hari kemerdekaan, disemprot herbisida karena dianggap sebagai gulma, dibekap mulsa plastik agar tak bisa tumbuh.
Namun, saat musim kemarau tiba, rumput diperebutkan oleh manusia, ditanam berderet sebagai penghalang serangga, dan bahkan beberapa jenis rumput tertentu (tanaman padi) kerap dijadikan komoditas politik dan ekonomi untuk mengeruk keuntungan dari anggaran belanja negara dengan sebutan revolusi hijau. Dampak negatif revolusi hijau ini dapat dirasakan hingga kini, yaitu masa kelam budaya agraris bangsa Indonesia.
Kiu Tao mewakili nasib manusia yang merangkul malapetaka dan keberuntungan di mana kita melatih diri untuk menjadi makhluk berbudi. Judul karya kesembilan melambangkan totalitas manusia dalam menjalani kehidupan sesuai dengan keputusan yang telah diambilnya. Kita dapat mundur selangkah ketika menghadapi suatu persoalan, dan setelah itu kita akan melihat delapan penjuru alternatif solusi yang dapat dipilih untuk kemudian dirumuskan dan dijalani.
Bencana berubah menjadi keberuntungan melalui proses perumusan dan penanganan yang tepat. Dalam konteks penciptaan seni, Kiu Tao adalah penataan seluruh area Lansekap Seni, yang terdiri dari lahan, tanaman, bangunan, dan karya The Tao of Bamboo yang tumbuh di atasnya. Kiu Tao mewujudkan totalitas Lansekap Seni sebagai laboratorium berwawasan lingkungan di mana eko-seniman mendidik dan menaikkan tingkat kecerdasan batin diri dan kecerdasan alam.
Kiu Tao tidak hanya menggunakan tanaman bambu sebagai medium utamanya, tetapi juga seluruh jenis grasses (rumput-rumputan) yang tumbuh di lahan Lansekap Seni, mulai dari rumput terkecil yang berguna sebagai tanaman pelindung atau selimut tanah, hingga rumput raksasa (giant grasses) yang biasa disebut sebagai bambu. Kiu Tao berwujud sebagai lansekap yang dihiasi hamparan ornamen horizontal yang memiliki tekstur dan warna yang bervariasi, terbuat dari berbagai jenis rumput-rumputan. Melalui karya ini, Kiu Tao mengajak kita untuk memasuki semesta rumput, salah satu tumbuhan penting dalam jaring kehidupan masyarakat setempat, yang akan terus tumbuh kembali walau ‘dibersihkan’ ketika menjelang hari kemerdekaan, disemprot herbisida karena dianggap sebagai gulma, dibekap mulsa plastik agar tak bisa tumbuh.
Namun, saat musim kemarau tiba, rumput diperebutkan oleh manusia, ditanam berderet sebagai penghalang serangga, dan bahkan beberapa jenis rumput tertentu (tanaman padi) kerap dijadikan komoditas politik dan ekonomi untuk mengeruk keuntungan dari anggaran belanja negara dengan sebutan revolusi hijau. Dampak negatif revolusi hijau ini dapat dirasakan hingga kini, yaitu masa kelam budaya agraris bangsa Indonesia.