Togog menghadapkan wajahnya ke arah kamera hp. Ia mematut-matutkan diri bersama KTP-nya yang ia pegang. Setelah memastikan posenya sesuai, ia menangkap dirinya dalam dunia virtue, virtual. Cekrek!
Gestur di atas adalah adegan pembuka film yang cukup familiar: legalisir administrasi digital. Semua (mungkin) pasti pernah melakukan apa yang Togog lakukan. Segala aktivitas kini hampir semuanya memakai piranti teknologi gadget, tak terkecuali proses validasi identitas. Proses ini mengubah kebiasaan lama kita: tak perlu lagi hadir bertatap muka secara fisik di tempat yang sama. Hari ini, kita erat terkait dengan dunia seluler dan digital, sebuah era (yang katanya) modern. Menariknya, seluruh kecanggihan teknologi ini hidup berdampingan dengan berbagai kepercayaan lokal, cerita misteri, dan mitos. Belakangan, pada adegan setelahnya, kita mengetahui bersama bahwa Togog sedang mendaftarkan diri untuk mengurus pinjaman online.
Sosok perempuan berambut panjang tertelungkup dan berayun pelan di kali. Tubuhnya sudah pucat. Ia tak lagi bernyawa. Mayat.
Mancing Mayit, adalah film besutan Christian Banisrael. Film ini diproduksi pada tahun 2024 dengan durasi 22 menit. Karya ini merupakan produk dari program Dana Keistimewaan (Danais), yang berada di bawah Dinas Kebudayaan DIY, sektor perfilman. Film ini berupaya menggabungkan narasi modern (fenomena pinjol) dengan kepercayaan lokal yang kental, menjadikannya perbincangan penting mengenai ketegangan antara tradisi dan kehidupan kontemporer di Yogyakarta.
Mengawali obrolan setelah menonton bersama, sang sutradara, Banisrael, mengungkapkan bahwa ide awal Mancing Mayit datang bagai kepingan puzzle, topik datang silih berganti, dari pengalaman dia memakai pinjol, cerita teman-temannya soal kejadian aneh dan gaib saat memancing di kali, lawang surup –kepercayaan soal portal gaib di Kali Progo, dan pertemuannya dengan kisah Pulung Gantung. Ia menyadari banyaknya ide membuatnya harus bersikeras meramu dan menjahitnya sebagai kesatuan cerita yang utuh. Memang tidak mudah. Dan begitulah Mancing Mayit tercipta.
Kunti, istri Togog, marah-marah. Ia berkata kepada Togog bahwa foto-foto seksinya akan disebar jika hutang pembayaran pinjol tak kunjung dilunasi. Sebuah ancaman menyerang mereka (meski via teks digital ia terasa sangat nyata).
Ada pengalaman serupa yang dibagikan oleh Elga, seorang penonton. Ia mengatakan film ini sangat relate dengan kehidupannya. Ia, yang juga hobi memancing, bercerita bahwa banyak kejadian aneh dan di luar nalar yang ia alami bersama ayahnya saat memancing. Pengalaman paling berkesan adalah saat memancing di Kali Progo, di mana ia melihat fenomena gelombang besar seperti ombak dan makhluk besar meliuk-liuk —sebuah penampakan yang tak mudah dicerna akal sehat (apakah itu naga? Wallahualam).
Pengalaman melihat fenomena dimensi lain inilah yang membuat film ini terasa dekat dengannya. Meskipun mengalami pengalaman yang mengerikan dan membuat bulu kuduknya merinding, hal itu tidak membuatnya meninggalkan hobinya. Bagi dirinya, memancing adalah aktivitas "ngudari pikir," yakni cara melepas penat dari hiruk-pikuk kehidupan.
Kembali pada pengalaman pribadinya, Banisrael menceritakan bahwa Togog adalah representasi dirinya. Ia adalah seseorang yang pernah memakai pinjol dan sempat bingung cara melunasinya. Pada pengalamannya, ia sempat pusing dan didera kecemasan tentang bagaimana cara melepaskan diri dari jerat jebakan Pinjol. Kondisi ini bahkan sempat menyerang mentalnya dan hampir mengalami depresi.
Pada sosok Togog, ide ini dimunculkan dalam adegan di mana ia senang dan gembira karena bunga kenanga yang ia tabur berubah menjadi uang. Mental frustrasi sekaligus harapan yang melekat pada Togog menciptakan bayangan-bayangan (meski ilusi) masa depan yang cerah: kekayaan, kekayaan, dan kekayaan. Togog menciptakan realitasnya sendiri, mengamini bahwa jalan pintas yang ia tempuh merupakan suatu kebenaran.
Pada dimensi kejiwaan, film Mancing Mayit bisa menjadi pemantik untuk membicarakan kesehatan mental seseorang. Saat kondisi psikis manusia dalam keadaan terjepit dan terancam, muncul pertanyaan: apa yang sebaiknya dilakukan? Ruvita, seorang penonton yang bekerja sebagai psikiater, berbagi pengalamannya menangani kasus serupa.
Ia berujar bahwa orang-orang yang mengalami krisis demikian perlu ditemani dan didorong secara aktif untuk membuka obrolan. Ini penting, karena orang-orang ini biasanya cenderung tertutup dan malu untuk mengungkapkan kenyataan. Pada aspek ini, Ruvita menekankan, sebisa mungkin seseorang yang mengalami krisis —apa pun jenis krisisnya— harus mempunyai teman cerita dan tidak memikirkan masalah sendirian, meskipun usaha ini memerlukan energi yang sangat besar. Sebaliknya, sebagai teman cerita, kita hanya perlu mendengarkan dan tak perlu mengeluarkan kata-kata bernada hukuman. Ia pun menambahkan, penanganan memakai obat-obatan juga pernah ia lakukan apabila memang sangat mendesak dibutuhkan.
Pembicaraan soal kesehatan mental berlanjut ke lokus lain. Kali ini Elga turut memberi komentar yang sangat menantang, khususnya bagi ekosistem dan sistem produksi film:
“Apakah ada departemen penanganan kejiwaan (psikologi) di dalam tim produksi pembuatan film? Mengingat hal ini juga penting untuk para pemain yang memainkan karakter-karakternya. Mereka mengambil peran dan memasukkan jiwa karakter baru di dalam tubuhnya. Jika karakter-karakter itu memiliki dampak buruk pada pemainnya, bukankah sangat berbahaya bagi badan dan jiwa mereka?”
Ide tersebut mengingatkan pada tradisi pertunjukan di Jawa, yaitu upacara jenang sum-sum. Ritual penutup prosesi ini dilakukan dengan cara makan bersama jenang sum-sum yang ditujukan untuk mengembalikan jiwa dan melepaskan karakter permainan.
Pada ritual tersebut, simbolisme jenang sum-sum sangatlah mendalam: warna putih jenang melambangkan tulang manusia, sementara kuahnya yang berasal dari gula merah melambangkan darah. Rangkaian prosesi penutup ini bertujuan menghadirkan kedirian aktor kembali secara utuh. Pertanyaan besarnya: Apakah tradisi kultural seperti ini masih relevan dan kompatibel untuk menjawab permasalahan kesehatan mental aktor di era produksi film modern?
Togog dan Soleng bersiap-siap dengan alat pancing masing-masing. Togog tiba-tiba melihat sesuatu bercahaya di sana. Ia pun berjalan mendekati pohon bercahaya itu: sebuah pohon kenanga. Tanpa ragu ia memetik bunga itu dan membuatnya sebagai umpan. Strike! Kena! Togog berhasil mendapatkan sidat! Mereka kegirangan.
Ada kepercayaan di kalangan para pemancing bahwa ikan yang berkedip adalah ikan jadi-jadian, yang disebut sebagai siluman, jin, atau roh manusia penasaran. Bagi sebagian pemancing, mendapatkan ikan ajaib dianggap sebagai keberuntungan, tetapi sebagian lainnya menganggapnya menakutkan dan memilih melepaskannya kembali.
Bagi Togog, ikan itu adalah sebuah keberuntungan besar. Keyakinannya mengatakan, ikan sidat gaib yang kena kailnya merupakan obat dari segala obat untuk permasalahan hidupnya, yang dapat mendatangkan kekayaan dan dengan begitu dapat melunasi utang-utangnya. Togog meyakini, ikan sidat gaib yang telah berubah menjadi Sri, sosok perempuan berambut panjang, adalah Dewi Kemakmuran yang akan menyelamatkan nasibnya.
Tev, salah satu penonton, menawarkan analisis yang tajam mengenai Togog. Ia berpendapat bahwa apa yang dialami Togog dan sistem pinjol memiliki konsep dasar yang identik. Menurutnya, diksi "gaib" dapat diartikan secara lebih luas sebagai “misteri” —sesuatu yang sulit dipahami, tidak diketahui, atau membingungkan.
Pada pandangannya, pinjaman online dan kepercayaan atas sidat kedip beroperasi dengan logika yang serupa, meskipun berada pada dua kutub kultur berbeda (modernitas dan kepercayaan tempatan). Keduanya sama-sama menawarkan proses yang instan: Pinjol menjanjikan dana cair cepat dan mudah, sementara sidat kedip menyodorkan cara ajaib untuk menambah kekayaan. Namun, ironi terbesarnya muncul di ujung proses. Kita sama-sama dihadapkan pada ketidakpastian mendasar: tidak ada yang benar-benar tahu apakah kedua cara tersebut benar-benar manjur dan bagaimana mekanisme di baliknya beroperasi, terutama mekanisme suku bunga pinjol yang seringkali tersembunyi atau mekanisme gaib yang tidak rasional. Fenomena ini sekaligus menegaskan bahwa manusia memiliki obsesi fundamental pada sensasi dan rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang bersifat misterius dan klenik, mencari jalan pintas yang instan, meskipun mengandung risiko bahaya yang sangat tinggi.
Sri dan Togog berdiri bersama di jembatan. Togog mulai menaburkan bunga kenanga ke arah kali. Ia berharap dengan cemas dan menunggu bunga kenanga yang ia tabur berubah menjadi uang, seperti apa yang dijanjikan oleh Sri. Benar saja! Bunga kenanga itu berubah menjadi uang, uang, uang.
Bunga kenanga yang tiba-tiba berubah menjadi uang —seperti yang dijelaskan oleh Banisrael— adalah cerminan kondisi mental Togog, wujud dari keputusasaan dan frustrasi yang mendalam. Dalam kondisi terjepit ini, Togog menciptakan dan memvalidasi realitasnya sendiri: ia sedikit lagi menjadi kaya raya. Pada adegan tersebut, kita menyaksikan dengan jelas bagaimana Togog bersikap irasional dan memperlihatkan ketidakmampuannya untuk berpikir jernih secara logis.
Bagas Okta, Programmer Permata, mengomentari momen ini dengan nada berempati, mengajak kita untuk merenung. Menurutnya, penting bagi kita untuk membaca dan memahami sudut pandang Togog sebagai manusia biasa yang bisa berbuat salah dan jauh dari sempurna. Kita memang bisa saja melabelinya sebagai sosok yang irasional, tetapi Bagas mempertanyakan, bukankah kehidupan yang kita jalani juga penuh dengan paradoks dan hal-hal yang demikian? Ada banyak momen yang pernah kita rasakan dan temui sampai berdecak kagum dan keheranan, seperti: "Sungguh ajaib!", "Di luar nurul nek iki!", atau "Iki aneh tur nyata." Dengan demikian, fenomena irasionalitas Togog merupakan ekspresi universal dari hasrat manusia akan keajaiban di tengah kesulitan.
Togog kegirangan dan kembali ke rumahnya. Ia menyambut janji Sri bahwa akan ada banyak uang di bak mandi rumahnya. Tetapi kenyataan berkata lain, tak ada apapun di sana. Bersamaan dengan itu, tenggat waktu telah habis, Togog dan Kunti bersitegang. Foto-foto seksi terancam tersebar.
Pada akhirnya, terungkaplah kebenaran: Sri bukanlah sosok keberuntungan atau Dewi Kemakmuran. Ia hanyalah roh penasaran dari manusia yang mati di kali, yang sebetulnya membutuhkan pertolongan dan keselamatan, terutama melalui doa-doa. Ialah Togog, manusia yang sedang putus asa itu, yang justru menjadi sosok terpilih untuk menolongnya. Demi mendapatkan bantuan Togog, Sri terpaksa berbohong dengan menjanjikan kekayaan instan. Tujuan sebenarnya Sri meminta Togog menaburkan bunga kenanga adalah untuk membantunya keluar dari "alam penasaran."
Pertanyaan mengenai pilihan simbol bunga kenanga ini meluncur dari Mutia, yang penasaran mengapa medium tersebut yang dipilih. Banisrael merespons dengan menjelaskan bahwa dalam tradisi upacara Jawa, bunga kenanga merupakan simbol pengharapan manusia agar senantiasa dalam ketenangan dan kedamaian. Lebih jauh, bunga kenanga memiliki peran penting sebagai medium untuk melangitkan doa-doa agar cepat sampai kepada Sang Receiver. Dengan demikian, kebohongan Sri memiliki motif spiritual yang ironis: ia berbohong demi sebuah ketenangan abadi.
Togog hilang akal, dalam keadaan frustrasi, ia mengulangi menaburkan bunga-bunga kenanga ke kali. Bunga-bunga kenanga itu kembali berubah menjadi uang. Tanpa pikir panjang Togog pun mulai mengejar uang-uang yang hanyut terbawa arus kali. Hingga ia terperosok ke dalam aliran yang dalam dan keli ke arah Lawang Surup.
Terkait dengan segmen Lawang Surup, muncul komentar menggelitik dari penonton. Ibu Ratna merasa janggal dengan visualnya; ia mempertanyakan mengapa gapura tersebut berwarna hijau dan bergaya arsitektur Eropa.
Sang sutradara, Banisrael, langsung merespons hal ini sambil sedikit terkekeh, “Sebenarnya, gambar gapura itu diambil dari gapura Kraton. Sementara warna hijau terilhami dari warna kebesaran Kanjeng Ratu Kidul, yang diyakini sering melintasi Kali Progo. Begitu.”
Baniisrael juga menambahkan pandangannya bahwa ia sedikit tidak srek dengan bagian Lawang Surup, dan sebenarnya berkeinginan agar bagian itu tidak ditampilkan. Namun, karena bersinggungan dengan konsep awal pengajuan proyek film kepada Danais (Dana Keistimewaan), bagian tersebut harus dimasukkan ke dalam unsur cerita.
Menyinggung persoalan pitching dan hal yang melingkupinya, komentar datang dari Ibu Lis. Ia ingin tahu bagaimana proses pendanaan dari Danais ini bekerja. Ia mempertanyakan apakah filmmaker memiliki keleluasaan penuh dan apakah ada intervensi tertentu, terutama karena pendanaan tersebut bersumber dari uang negara.
Baniisrael menjawab pertanyaan tersebut secara diplomatis. Ia menekankan bahwa ia banyak belajar dari para mentor dan menerima berbagai masukan agar skenario film menjadi rapi dan utuh. Perdebatan tentu saja ada, tetapi arahnya selalu jelas: fokusnya adalah untuk kebaikan film itu sendiri.
Mendengar penjelasan dari sutradara, Elga, yang juga berkecimpung dalam manajerial seni, khususnya seni rupa, terpantik untuk menggali lebih dalam soal peran kurator dalam Danais. Ia memberi contoh bahwa dalam acara seni rupa, kurator memegang peran yang sangat penting karena turut merancang visi dan konsep karya/program. Merujuk pada proses film pitching seperti yang dibahas, Elga pun penasaran: bagaimana peran kurator di sana? Ia secara spesifik mempertanyakan apakah kurator ikut serta membangun konsep dari awal, merancang teks kuratorial, dan turut mempertanggungjawabkan program yang dijalankan.
Menjawab pertanyaan tersebut, Baniisrael menjelaskan struktur yang ada dalam program Danais, khususnya pada kasus Mancing Mayit. Ia menerangkan bahwa program ini memiliki tahapan-tahapan yang harus ditempuh. Memang ada kurator, namun perannya (sejauh yang diketahui oleh sutradara) berada di fase awal, yaitu pada proses penyeleksian untuk memilih proposal yang dianggap terbaik.
Setelah diseleksi, proposal-proposal yang terpilih akan melakukan presentasi di hadapan para kurator. Dari situ, akan dipilih lagi proposal yang paling layak untuk diberi pendanaan. Proposal-proposal yang berhasil mendapatkan pendanaan ini nantinya akan didampingi oleh para supervisor dalam menjalani seluruh proses, mulai dari tahap praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi.
Melihat dan membaca keseluruhan proses kurasi dan peran kurator yang dijelaskan, saat diskusi berlangsung muncul kesadaran akan pentingnya kejelasan di awal. Idealnya, proses seperti ini haruslah transparan sejak dini: para calon penerima dana harus dapat membaca teks kuratorial yang jelas agar bisa membayangkan dan memahami visi spesifik Program Danais pada edisi tahun tersebut. Kejelasan ini akan membantu filmmaker menyelaraskan karya mereka dengan tujuan program, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas proposal. Lalu, pada bagian akhirnya, penting juga bagi tim kurator untuk membuat publikasi hasil program secara komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban kerja dan transparansi proses kepada publik. Sikap transparan ini tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga menunjukkan tata kelola dana publik yang akuntabel dan profesional dalam mendukung perkembangan seni, khususnya film.
Togog kembali. Entah ia sekarang apa. Entah ia selamat atau tidak. Entah ia berhasil keluar dari Lawang Surup atau bahkan belum masuk sama sekali. Tidak jelas, tidak ada yang tahu, gaib!
Kunti berpose seperti Togog: menghadapkan wajahnya ke arah kamera hp. Ia mematut-matutkan diri bersama KTP-nya yang ia pegang. Setelah memastikan posenya sesuai, ia menangkap dirinya dalam pinjol. Cekrek!
Yang amat jelas adalah Togog mengalami diskoneksi dari realitas, memasuki keretakan psikologis, sehingga tertipu dua kali. Untuk yang kali kedua, semoga ia mendapatkan kebaikan yang setimpal karena telah menolong Sri.
Tempat terbaik untukmu, Togog.




