Di kota-kota yang kian padat, kematian bukan lagi hanya perkara duka, melainkan juga urusan ruang. Lahan makam yang semakin sempit membuat keluarga berduka harus berhadapan dengan konflik, biaya, dan aturan administratif. Pada titik ini, kematian tidak hanya menjadi akhir bagi yang pergi, tetapi juga ujian bagi yang hidup: apakah masih ada ruang untuk memulangkan mereka dengan layak, atau justru kepulangan itu kehilangan maknanya? Pertanyaan itu mengemuka seusai pemutaran film Kembalilah Dengan Tenang karya M. Reza Fahriyansyah pada Sabtu sore, 26 Juli 2025 di Ruas Bambu Nusa, Yogyakarta. Sebuah film pendek berdurasi 25 menit yang diproduksi pada tahun 2018 oleh Crazyone!!! Films.
Film ini menghadirkan lebih dari sekadar cerita keluarga yang berduka. Ia membuka percakapan tentang krisis lahan makam yang kian mendesak, tentang refleksi kematian dari sudut pandang mereka yang ditinggalkan, tentang dinamika solidaritas yang hadir maupun absen di tengah duka, serta tentang ketidakadilan kelas yang membuat kematian pun berubah menjadi beban administratif. Diskusi selepas pemutaran memperlihatkan bahwa keempat hal ini bukan hanya isu layar, melainkan nyata dialami masyarakat, dan menantang kita untuk bertanya ulang: bagaimana kita memaknai kematian, kepulangan, dan kebersamaan di tengah krisis ruang kota hari ini?
Krisis Lahan, Krisis Kepulangan
Kembalilah Dengan Tenang mengisahkan Santoso yang kehilangan anak remajanya, Agung. Jenazah dipulangkan ke rumah susun (rusun) tempat keluarganya tinggal, sementara Santoso berkeliling ke beberapa tempat pemakaman umum (TPU) mencari lahan pemakaman untuk mendiang anaknya. Istrinya, Wati, tetap berjaga di rusun mendampingi jenazah Agung. Dalam pencarian itu, Santoso menghadapi penolakan dan syarat yang pelik: ada lahan yang menolak karena mereka bukan warga sekitar, ada yang sudah “dipegang” turun-temurun, ada yang dikelola secara komersial dengan harga tak terjangkau, hingga tawaran untuk menumpuk jenazah di atas makam lama. Situasi semakin mendesak ketika prosesi pemakaman perlu sesegera mungkin dilaksanakan sebagai penghormatan kepada almarhum dan kerumunan pelayat yang sudah menunggu terlalu lama. Di rusun, bisik-bisik tetangga dan urusan kecil yang mendadak berubah menjadibiaya menambah sesak suasana, menegaskan kerumitan prosesi pemakaman yang jauh dari kata sederhana.
Bagi Reza, gagasan membuat Kembalilah Dengan Tenang bermula dari pengalaman paling dekat: mengurus pemakaman ayahnya di Jakarta. Sebuah proses yang panjang, melelahkan, dan tetap dipayungi duka. Dari pengalaman tersebut muncul bayangan lain—sebuah pengandaian yang lebih personal. Bagaimana kelak jika kematiannya sendiri harus diurus? Sebagai perantau yang menetap di Yogyakarta, ia membayangkan rumitnya proses itu bisa berlipat ganda: mulai dari jarak dengan kota asal, perbedaan tata kelola, hingga persoalan lahan makam yang semakin terbatas.
Pengandaian itu kemudian ia bawa lebih jauh. Dari persoalan pribadi, Reza melihat ada masalah yang lebih luas dan menyangkut banyak orang. Bahwa kematian bukan hanya perkara kehilangan seseorang, melainkan juga perkara ruang, biaya, dan ketimpangan sosial. Bagi sebagian orang, mendapatkan tempat peristirahatan terakhir yang layak adalah hak yang seharusnya sederhana, tetapi dalam kenyataan justru terikat pada status sosial, kuasa administratif, bahkan daya beli.
Dukungan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta memberi jalan bagi Reza untuk memproduksi film ini dan mengembangkan gagasannya ke tahap riset. Ia turun langsung ke sejumlah TPU di Yogyakarta, berbincang dengan orang-orang yang sehari-hari berurusan dengan kematian, dan mengamati praktik yang berlangsung. Dari sana ia menemukan cerita-cerita berulang: makam yang diwariskan turun-temurun, lahan yang dikelola secara komersial, hingga praktik penindihan jenazah karena lahan telah penuh. Semua temuan itu kemudian menjadi bahan yang memperkaya cerita fiksi dalam Kembalilah Dengan Tenang, sehingga film ini lahir bukan semata dari imajinasi, melainkan dari percakapan dan temuan nyata di lapangan.
Film ini menyingkap bagaimana krisis lahan makam berkelindan dengan krisis makna. Kematian, yang dalam banyak tradisi dipahami sebagai kepulangan, kini sering berhadapan dengan keterbatasan ruang dan syarat administratif. Pergeseran itu memunculkan empat percakapan penting: pertama, tentang krisis lahan pemakaman itu sendiri; kedua, tentang refleksi kematian dari mereka yang ditinggalkan; ketiga, tentang dinamika solidaritas sosial yang kerap rapuh; dan keempat, tentang ketidakadilan kelas yang membuat kematian pun berubah menjadi beban administratif.
Ruang Duka, Ruang Bersama
Percakapan selepas pemutaran Kembalilah Dengan Tenang segera mengalir pada pertanyaan: bagaimana sesungguhnya kita, sebagai masyarakat, menghadapi kematian? Sasa membuka dengan kegelisahan akan pilihan artistik pada bagian akhir film yang membuatnya terasa ambigu. Bagi sebagian penonton, pilihan itu mengguncang logika cerita dan mengaduk perasaan antara duka dan absurditas. Reza menanggapi bahwa keputusan itu memang disengaja—cara untuk memberi ruang bagi imajinasi penonton agar kematian tidak semata dipahami sebagai peristiwa yang kaku. Rayi lalu menambahkan, pendekatan itu membuat film bergerak ke ranah komedi tragis, memperlihatkan getir sekaligus ironi dalam satu tarikan.
Dari situ, obrolan berlanjut pada isu yang lebih nyata dalam keseharian. Salma mengaku baru tahu bahwa di Yogyakarta praktik penindihan makam terjadi begitu nyata. Ia membayangkan rumitnya beban yang dihadapi keluarga perantau dengan keterbatasan biaya: ketika hidup saja serba sempit, masa setelah mati pun harus dihadapi dengan cara serba darurat. Celetukan seorang penonton— “waktu hidup ditumpuk ke atas, saat sudah meninggal ditumpuknya ke bawah” —mengundang tawa getir, tapi juga menegaskan betapa krisis ruang benar-benar menembus hingga ke liang lahat.
Trio menyoroti bagaimana film menangkap lanskap tata ruang kota. Baginya, adegan salah satu makam dengan latar pembangunan gedung-gedung baru adalah potret gamblang tentang tata ruang kota yang kerap memprioritaskan pembangunan komersial—seperti hotel—alih-alih kebutuhan warga akan ruang hidup dan ruang peristirahatan terakhir. Bagas menguatkan dengan pengalamannya di pinggiran daerah Magelang, di mana ada rumah warga bahkan sampai menempatkan makam di ruang tamu, sebuah tanda betapa rapuhnya jaminan atas pemakaman yang layak. Reza menegaskan, inilah yang ingin ia munculkan—bahwa kematian selalu bersinggungan dengan struktur ruang, dengan siapa yang punya akses, siapa yang dipinggirkan, dan bagaimana pertukaran modal berkelindan di antaranya.
Difa lalu mengingatkan bahwa pengalaman berduka di kampung dan di kota begitu berbeda. Ketika di kampung prosesi pemakaman masih erat dengan relasi sosial dan gotong royong, di kota justru makin terpecah oleh aturan administratif dan biaya-biaya tambahan. Siti, salah satu pemain Kembalilah Dengan Tenang yang turut hadir, menutup dengan refleksi tentang ketimpangan kelas. Dengan upah minimum yang rendah, bahkan biaya untuk mati bermartabat pun bisa menjadi beban. Maka, masalah pemakaman seharusnya dipandang sebagai persoalan bersama—bukan sekadar urusan keluarga yang berduka, melainkan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk menata ruang kematian dengan lebih adil.
Pemutaran dan diskusi ini memperlihatkan bahwa Kembalilah Dengan Tenang tidak hanya berdiri sebagai karya fiksi, melainkan sebagai cermin yang menyingkap krisis ruang, sosial, dan budaya di sekitar kita. Dari pertanyaan tentang detail cerita, sampai keluhan tentang tata ruang kota, semuanya berpaut pada satu benang merah: kematian tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu hadir sebagai bagian dari kehidupan bersama—dan justru di situlah kita diuji, apakah solidaritas masih ada, ataukah semakin absen.