You & I: Merawat Memori, Merawat Sesama

You & I: Merawat Memori, Merawat Sesama

You & I: Merawat Memori, Merawat Sesama

You & I: Merawat Memori, Merawat Sesama

You & I: Merawat Memori, Merawat Sesama

Ditulis oleh

Ditulis oleh

Ditulis oleh

Ditulis oleh

Ditulis oleh

M. Dzulqarnain

M. Dzulqarnain

M. Dzulqarnain

M. Dzulqarnain

M. Dzulqarnain

Kamis, 14 Agustus 2025

Kamis, 14 Agustus 2025

Kamis, 14 Agustus 2025

Kamis, 14 Agustus 2025

Kamis, 14 Agustus 2025

Siapa yang akan merawat ingatan ketika yang menorehkannya sudah tak mampu lagi bercerita? Pertanyaan itu seolah menggantung di udara Ruas Bambu Nusa pada sore 22 Juni 2025, seusai film dokumenter You & I berdurasi 72 menit selesai diputar. Karya sutradara Fanny Chotimah ini tak sebatas menjadi tontonan, tetapi sebuah pengalaman yang mengajak penonton untuk menyelami lapisan ingatan, perawatan, dan ketabahan dari sosok sepasang sahabat.

Pemilihan You & I oleh tim kurator program Permata lahir dari tema besar yang mereka usung: “merawat.” Sebuah kata yang sederhana, namun sarat makna ketika dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, hubungan antarmanusia, dan tanggung jawab kolektif. Film ini menyoroti persahabatan dua penyintas peristiwa politik 1965, mbah Kusdalini (mbah Kus) dan mbah Kaminah (mbah Kam), yang telah puluhan tahun hidup berdampingan. Di tengah keterbatasan fisik, usia senja, dan bayang-bayang masa lalu, keduanya membangun keseharian yang mandiri, sederhana nan hangat, dan penuh saling dukung.

You & I bukan hanya dipandang sebagai dokumentasi sejarah, melainkan juga sebagai cermin bagi isu-isu yang masih kita hadapi hari ini: trauma yang diwariskan, ketidakhadiran negara dalam perawatan pada kalangan tertentu, solidaritas yang lahir dari komunitas, dan bagaimana generasi muda memaknai masa lalu. Diskusi yang menyusul selepas pemutaran membuktikan bahwa cerita ini sanggup menembus batas usia, profesi, dan ragam latar belakang audiens.

Dua Sahabat dalam Ingatan Panjang

You & I merekam kehidupan Kusdalini dan Kaminah yang pernah dipenjara tanpa proses pengadilan pada masa pergolakan politik 1965. Keduanya adalah bagian dari kelompok paduan suara organisasi pemuda yang berbeda, yang kemudian ditangkap saat keduanya berumur 21 tahun (Kusdalini) dan 17 tahun (Kaminah). Pertama kali bertemu di penjara, Kusdalini ditahan selama dua tahun, sementara Kaminah ditahan selama tujuh tahun. Sekalipun sudah bebas, Kusdalini secara rutin tetap mengunjungi Kaminah di penjara. Hingga ketika Kaminah yang sudah bebas harus menerima penolakan dari keluarganya, Kusdalini bersama neneknya menerima Kaminah untuk tinggal bersama mereka. Ketiganya lalu menjalin lembaran baru kehidupan mereka hingga sang nenek tiada.

Mbah Kus dan mbah Kam kerap dikenal sebagai nenek kembar di masa tuanya karena wajahnya yang mirip dan kerap menggunakan pakaian yang serupa. Masa tua mereka diwarnai beragam tantangan. Mulai dari kesehatan yang rapuh, tenaga yang berkurang, dan hal-hal sejenis yang dialami kaum lansia. Namun, keduanya dikenal tangguh. Mereka mengatur keuangan dengan hati-hati, menjaga rumah tetap hidup, dan menjalin hubungan baik dengan tetangga. Dalam ruang kecil yang mereka huni, persahabatan keduanya menjadi sumber kekuatan yang membuat hari-hari mereka terus berjalan. Sekalipun masih berjibaku dengan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh dan kondisi kesehatan mbah Kus yang mengidap demensia.

Kisah mereka pertama kali muncul dalam buku foto Pemenang Kehidupan karya fotografer Adrian Mulya dan penulis Lilik HS, yang menyoroti perempuan-perempuan penyintas 1965–66. Dari proyek itu, salah satu produser film memperkenalkan Fanny kepada mbah Kus dan mbah Kam. Perjumpaan itu berkembang menjadi kedekatan personal yang lahir dari kunjungan, obrolan santai, dan kegiatan komunitas, hingga akhirnya menjadi dorongan kuat untuk merekam kisah mereka dalam bentuk film dokumenter. Proses riset dan pembuatan film dimulai sejak tahun 2016 dan ditayangkan perdana pada tahun 2020 di Jogja-Netpac Asian Film Festival, Yogyakarta.

Menemani, Merekam, dan Merawat

Pertemuan pertama Fanny dengan mbah Kus dan mbah Kam terjadi pada 2016, saat Amerta Kusuma dan Yulia Evina Bhara (yang kemudian hari menjadi produser film ini) mengajak Fanny berkunjung ke kediaman kedua mbah. Ia menghabiskan waktu yang lama hanya untuk berkunjung, membantu pekerjaan rumah, menemani makan, atau mendengarkan dan saling bertukar cerita. Kunjungan dan pertemuan menjadi sering dilakukan karena tempat tinggalnya yang dekat dengan kediaman mbah Kus dan mbah Kam. Ketika Fanny menceritakan niatannya untuk memfilmkan keduanya, mbah Kus dan mbah Kam menyambut dengan baik. Obrolan-obrolan yang sudah mereka lakukan selama ini, termasuk ketika Fanny dan tim menceritakan aktivitasnya di dunia film, membuat mbah Kus dan mbah Kam menerima niatan tersebut. Keduanya menganggap film ini mungkin bisa menjadi warisan untuk generasi selanjutnya, tentang apa yang mereka alami sepanjang hidup mereka dan bagaimana hal tersebut jangan sampai terulang kembali. Tak jarang, mbah Kus dan mbah Kam juga mengingatkan Fanny dan tim kerja yang sudah akrab dengan mereka untuk berhati-hati. Jangan sampai apa yang keduanya alami terjadi juga pada mereka.

Saat mulai merekam, Fanny menyadari bahwa ia tidak bisa terburu-buru untuk melakukan perekaman. Ia dan timnya perlu memperkenalkan secara perlahan situasi shooting yang akan mereka lakukan. Tim kerja disusun dengan minimalis menggunakan alat yang sederhana dan tidak mencolok atas dasar mempertimbangkan kenyamanan mbah Kus dan mbah Kam, hingga mereka merasa nyaman dan bisa menghadirkan diri dengan natural. Fanny juga memilih pendekatan yang minim intervensi. Kamera dibiarkan mengikuti alur keseharian tanpa arahan khusus, menangkap momen-momen spontan seperti tawa ringan saat menonton televisi atau percakapan singkat menjelang tidur. Tantangan teknis pun tidak sedikit. Rumah tempat mereka tinggal terhitung sempit dengan pencahayaan alami yang terbatas. Fanny kemudian menyesuaikan posisi pengambilan gambar dengan kondisi rumah dan kegiatan sehari-hari, sehingga keberadaan kamera tidak mengubah suasana atau mengganggu interaksi alami antara mbah Kus dan mbah Kam. Peralatan sederhana membuatnya leluasa bergerak tanpa mengubah suasana rumah, menjaga keaslian yang menjadi roh dokumenter ini.

Tak jarang di situasi tertentu, Fanny dan timnya meninggalkan tugas mereka sebagai pembuat film ketika mbah Kus dan mbah Kam membutuhkan bantuan. Mulai dari membantu aktivitas keduanya saat kondisi fisik tidak mumpuni, mengadakan obat-obatan yang perlu dikonsumsi mbah Kus, juga merenovasi rumah mereka ketika kondisi bangunan tersebut sudah membahayakan keduanya. Hal ini lebih mendasar daripada kebutuhan mereka sebagai pembuat film; kepedulian atas sesama dan dukungan atas semangat hidup juga perjuangan mbah Kus dan mbah Kam selama berpuluh-puluh tahun terakhir. Proses produksi berlangsung berkala selama beberapa tahun. Setiap kunjungan merekam babak baru kehidupan dua sahabat itu—hingga pada satu titik, mbah Kus pergi berpulang di tengah proses shooting, disusul oleh mbah Kam setahun kemudian. Di kemudian hari rumah yang menjadi latar cerita juga turut hilang, digantikan bangunan baru. Bagi Fanny, kehilangan itu menjadi simbol paling nyata rapuhnya memori: ia tak hanya mengabadikan sosok mbah Kus dan mbah Kam, tetapi juga ruang yang pernah menyatukan mereka.

Merawat Memori, Merawat Sesama

Pada sesi diskusi seusai pemutaran, beberapa pembuat film yang hadir menanggapi You & I dalam beberapa aspek. Salah satunya, Wisnu, sebagai sesama pembuat film dokumenter menyebut tentang dedikasi dan kesiapan energi yang besar oleh Fanny untuk menyelesaikan film ini. Baginya, seorang pembuat film dokumenter juga turut membawa beban psikologis yang besar atas narasi, subjek, maupun isu yang dihadirkan. Khususnya pada You & I, diluar 70an menit yang sudah kita tonton, ada ratusan hingga mungkin ribuan menit lain yang sudah direkam dan diedit Fanny dan timnya, yang berkemungkinan menjadi beban tersendiri bagi pembuatnya, baik psikologis maupun emosional. Hal yang dibagikan Wisnu juga sejalan dengan yang dibagikan Elizabeth yang lebih menyorot pada situasi subjek dalam film. Berdasarkan pengalamannya bekerja dalam proyek serupa tentang migrasi orang Yahudi yang dibuang ke camp Auschwitz, Elizabeth membayangkan sekalipun mbah Kus dan mbah Kam sudah terbebas dari penjara, pikiran dan jiwa mereka bisa jadi masih berada di sana sebagai beban emosional dan psikologis. You & I baginya sanggup menunjukan upaya dalam bertahan dan menghadapi hal tersebut lewat persahabatan mbah Kus dan mbah Kam yang begitu humanis dan indah. Kekuatan film ini ada pada kedekatan kamera dengan subjek, yang menghadirkan empati dengan natural tanpa paksaan.

Fanny merespon dengan mengakui bahwa beban psikologis dan emosional penggarapan film ini memang besar. Apalagi di tengah proses produksi ia harus merawat ayahnya yang mengalami stroke dan demensia. Namun di saat yang sama, apa yang Elizabeth sebut sebagai kekuatan persahabatan mbah Kus dan mbah Kam dalam memperjuangkan kehidupan mereka menjadi salah satu sumber kekuatannya. Mereka bertanggung jawab atas kehidupan mereka, mereka menolak untuk dikasihani, dan dengan lapang dada menerima apapun yang hidup bawakan untuk mereka. “Pengalaman itu membuat saya benar-benar mengerti apa artinya merawat,” ujarnya, sambil menegaskan bahwa proses ini mengubah cara pandangnya terhadap subjek film ini dan bagaimana ia tetap tegar dalam menempuh prosesnya. Fanny juga menambahkan bahwa masyarakat sekitar mbah Kus dan mbah Kam relatif menghormati mereka karena pembawaan diri keduanya yang baik dan reputasi keluarga mbah Kus. Namun, ia juga menyadari bahwa masih banyak penyintas lain yang tidak mendapat penerimaan seperti itu—beberapa justru mengalami pengucilan hingga akhir hayat.

Di tengah upaya negara mengubah atau mengaburkan narasi sejarah yang saat ini sedang berlangsung, Bintang dan Toto sebagai sesama pembuat film menganggap kehadiran You & I menjadi relevan. Bintang meyakini bahwa film dokumenter berpotensi tidak berhenti hanya pada perenungan, namun dapat menggerakkan orang-orang yang menontonnya untuk melakukan sesuatu atas narasi atau isu yang dimuatnya. Sementara Toto, yang saat ini juga sedang mengerjakan film dokumenter dengan pendekatan serupa, juga meyakini hal yang sama. Ia juga mengalami dan memahami proses “merawat” yang dilakukan Fanny dalam You & I, dan meyakini bahwa film maupun medium lain yang memiliki semangat sejenis akan mampu menjadi penyambung antar generasi atas situasi dan peristiwa sejarah yang diangkat agar dapat belajar dan mengantisipasi terulangnya kembali kejadian serupa.

Para penonton yang hadir dari generasi yang lebih muda juga mengatakan hal yang sama. Renjani, seorang pelajar SMA menyoroti pentingnya film seperti You & I untuk generasi muda. “Kesadaran sejarah adalah privilese,” katanya, “dan film ini bisa membuka wawasan kami yang tidak mengalami langsung.” Privilese yang ia maksud lebih kepada akses atas wawasan dan pengetahuan atas peristiwa sejarah tersebut, yang mungkin belum tentu bisa diakses oleh pelajar maupun anak muda lain dengan situasi yang berbeda. Ia berterima kasih atas hadirnya You & I sehingga bisa mengetahui hal tersebut dan berharap pemutaran seperti ini juga berlangsung di tempat-tempat lain. Alex, kawan muda lainnya yang aktif di kerja perawatan dan kolektif mengiyakan hal yang sama. Lebih jauh ia berujar bahwa kerja-kerja perawatan adalah kerja kolektif dan bagaimana pembicaraan dan kesadaran semacam ini bisa dibawa ke ruang yang lebih luas beragam. Seturut dengan Alex, beberapa penonton lainnya turut berbagi pengalaman pribadi sebagai caregiver atas anggota keluarganya yang juga mengalami demensia. Adegan-adegan dalam film memunculkan kembali memori-memori perawatan mereka yang penuh tantangan namun juga kehangatan.

Fanny menyambut cerita-cerita itu dengan empati, mengatakan bahwa ia memahami kedalaman emosi yang terlibat. “Merawat,” katanya, “adalah kerja hati dan tenaga yang sama-sama menguras, tapi juga mengikat kita dalam cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.” Ia juga menambahkan bahwa terlepas dari muatan konteks peristiwa 65 yang ada, filmnya tidak berintensi penuh pada kesaksian penyintas dan fakta peristiwa sejarah. Ia lebih menekankan pada memori dan hubungan mbah Kus dan mbah Kam yang penuh cinta kasih, humanis, dan optimis. Sebagai pengingat sekaligus dorongan untuk rasa solidaritas kita, maupun kesadaran atas situasi-situasi yang tidak adil dan belum tuntas di sekitar kita. “Saya ingin menciptakan ruang di mana penonton bisa melihat mereka sebagai manusia utuh—dengan tawa, kerja, dan rasa lelah—bukan sekadar korban peristiwa.” ujar Fanny.

Sesi diskusi berdurasi kurang lebih satu jam itu menandai beberapa hal: pentingnya menghadirkan narasi yang memanusiakan penyintas, relevansi tema perawatan lintas generasi, dan kebutuhan untuk memperluas ruang dialog mengenai sejarah dan solidaritas komunitas. You & I menjadi pengingat bahwa peristiwa kemanusiaan tidak hanya milik masa lalu, tetapi bagian dari tanggung jawab masa kini. Film ini meninggalkan kesan yang dalam: tentang persahabatan yang setia, tentang bagaimana manusia bertahan di tengah kehilangan, dan tentang betapa berharganya ruang-ruang kecil tempat kita saling menjaga. Seperti yang diungkapkan mbah Kaminah, “Negeri ini punya banyak hal, tapi masih kurang keadilan dan kemakmuran.”

Program Permata adalah inisiatif bulanan yang digagas oleh Ruas Bambu Nusa dan Suara Dewandaru sebagai ruang pengembangan kecerdasan majemuk melalui medium film dan gambar bergerak. Mengedepankan tiga pilar utama—eksebisi, eksplorasi, dan distribusi pengetahuan—Permata menyuguhkan pemutaran film dan membuka ruang yang mendorong apresiasi dan ekspresi lintas disiplin, dari bahasa hingga gerak tubuh.

Program Permata adalah inisiatif bulanan yang digagas oleh Ruas Bambu Nusa dan Suara Dewandaru sebagai ruang pengembangan kecerdasan majemuk melalui medium film dan gambar bergerak. Mengedepankan tiga pilar utama—eksebisi, eksplorasi, dan distribusi pengetahuan—Permata menyuguhkan pemutaran film dan membuka ruang yang mendorong apresiasi dan ekspresi lintas disiplin, dari bahasa hingga gerak tubuh.

Program Permata adalah inisiatif bulanan yang digagas oleh Ruas Bambu Nusa dan Suara Dewandaru sebagai ruang pengembangan kecerdasan majemuk melalui medium film dan gambar bergerak. Mengedepankan tiga pilar utama—eksebisi, eksplorasi, dan distribusi pengetahuan—Permata menyuguhkan pemutaran film dan membuka ruang yang mendorong apresiasi dan ekspresi lintas disiplin, dari bahasa hingga gerak tubuh.

Program Permata adalah inisiatif bulanan yang digagas oleh Ruas Bambu Nusa dan Suara Dewandaru sebagai ruang pengembangan kecerdasan majemuk melalui medium film dan gambar bergerak. Mengedepankan tiga pilar utama—eksebisi, eksplorasi, dan distribusi pengetahuan—Permata menyuguhkan pemutaran film dan membuka ruang yang mendorong apresiasi dan ekspresi lintas disiplin, dari bahasa hingga gerak tubuh.

Bagikan artikel ini

Bagikan artikel ini

Bagikan artikel ini