Sore itu, di luar sana, langit Cangkringan, sedang meluruhkan gerimis. Dingin yang merayap bukan hanya dari cuaca, tapi dari layar yang baru saja merampungkan tugasnya: menayangkan Suintrah.
Film pendek berdurasi 21 menit karya Ayesha Alma Almera ini, bagai tukang sulap, mengubah seisi ruangan menjadi senyap setelah lampu menyala. Bukan, ini bukan sekadar hening karena terkesima. Ini adalah keheningan yang dipaksakan, sebuah refleks yang menyeruak dari inti cerita: dilarang bersuara keras.
Sinopsis Suintrah: Sebuah Bisikan Kematian
Jor (65) dan putra tunggalnya, Nayak (12), menyewa rumah di sebuah desa yang memiliki satu aturan khusus: tidak seorang pun boleh berbicara keras. Jika ada yang melanggar aturan tersebut, kehadiran tak kasat mata dan menakutkan tertentu akan membuat mereka menghilang selamanya.
Sesaat setelah adegan terakhir —mungkin Jor masih mencari Nayak, mungkin ancaman itu sudah merenggut. Reportase ini bukan sekadar catatan diskusi, ini adalah upaya membongkar lapisan-lapisan teror yang dibangun dengan bisikan, sebuah refleksi yang bermula dari pertanyaan sederhana: mengapa kita begitu takut untuk bersuara?
Diskusi pasca-tayang lantas mengerucut pada dua poros utama: crafting karya (penceritaan dan bahasa sinematik) dan film sebagai medium refleksi, melawan segala bentuk pemapanan (bukan kemapanan, hati-hati keliru eja!). Dan, Suintrah adalah medium yang pas untuk menanyakan hal-hal yang sering kita bungkam.
Ayesha, sang sutradara, membuka perbincangan dengan membongkar asal-muasal cerita. Rupanya, cerita ini bermula dari naskah teater berjudul sama karya Alex Suhendra, yang juga turut mengadaptasinya menjadi skenario film.
Naskah teater aslinya jauh lebih kompleks dan panjang. Namun, untuk mengakomodasi medium film (film language), naskah panggung itu harus mengalami penyesuaian brutal. Durasi dan alur cerita dipadatkan, dibuat lebih singkat, tapi jumlah karakter tetap dipertahankan. Ini adalah kompromi yang melahirkan ketegangan: bagaimana memadatkan teror tanpa menghilangkan esensinya?
Arsitektur suara teror: di ranah teknis, perbincangan tentang audio menjadi penting. Raka, sound designer film ini, bercerita bagaimana ia bersama Ayesha harus bekerja keras untuk benar-benar mengeluarkan sisi horor dan teror yang mengancam desa Suintrah. Ini bukan horor hantu meloncat, tapi horor psikologis.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah menemukan dynamic range audio pada dialog yang lirih. "Presisi bunyi, suara, dan tone rendah tutur kata harus sesuai," ujar Raka. Sebab, di desa itu, satu desahan napas yang terlalu keras pun bisa berarti kematian.
Mas Ghaitza, komposer & ilustrator musik film ini, menambahkan bahwa konsep musik yang "meneror" berpijak pada kondisi psikologis tiap karakter dan situasi mencekam di desa. Musik bukan sekadar latar, tapi perpanjangan tangan dari rasa takut yang terus-menerus dicekik.
Mas Gilang, seorang penulis cerpen yang memiliki impian ceritanya difilmkan, menanyakan proses penyuntingan skenario. Ayesha berbagi rahasianya: saat menganalisis cerita akan menjadi teror psikologis, ia membaca banyak referensi cerpen sejenis. Salah satu yang paling dikenang olehnya adalah cerpen berjudul Misteri Kota Ningi karya Seno Gumira. Kegiatan ini membantunya membuat scene atau shot bernuansa mencekam. Di medium film yang ketat durasi dan budget, keoptimalan scene dan adegan menjadi segalanya. Apa yang tidak perlu, segera dibuang tanpa ampun.
Setelah membicarakan crafting, obrolan bergeser ke ranah yang jauh lebih sensitif dan senyap: apa yang sebenarnya diwakilkan oleh aturan "dilarang bersuara keras" di desa Suintrah?
Edmar, seorang penikmat sastra, terutama Sastra Indonesia, langsung meloncat bersuara. Pada film, sosok atau entitas berbahaya yang menghilangkan warga desa memang tidak pernah disebut, namun ingatan Edmar sontak melayang pada sosok dan zaman di dunia riil Indonesia yang pernah berkuasa penuh.
Terbayang jelas dalam ingatannya siapa orang itu, yang juga menggunakan teror dan ancaman untuk mengatasi dan memelihara ketertiban umum —menciptakan “normalitas”.
Apakah dia? Ssst!
Mbak Momo, pecinta filsafat, melengkapi pandangan ini dengan ide teror dan trauma kolektif. Film ini menangkap respons emosional dan psikologis terhadap peristiwa yang menakutkan, yang diwarisi secara turun-temurun. Ini seperti skema sirkular yang terus berulang, hingga akhirnya ketakutan itu diterima sebagai hal yang tampak normal. Maka, ketika muncul kritikan, kritikan itu haruslah yang “baik-baik” —sebuah bisikan halus di tengah teror.
Pernyataan Mbak Momo dan Edmar diperkuat oleh Mas Iksan, seorang yang berasal dari Tanah Melayu, Riau. Ia menceritakan peristiwa serupa terjadi di daerahnya, di mana warga yang mencoba menyuarakan pendapat benar-benar dibungkam, membuat kekuasaan lokal tak bisa lagi disinggung. "Anak muda pun tidak lagi bersuara keras dan mengambil jalan lain. Ketakutan itu jadi budaya."
Bahkan di balik layar, ancaman pembungkaman itu nyata. Dani Tanaka, art director Suintrah, menceritakan pengalamannya di industri film. Ketika ia memperkarakan jam kerja yang berlebihan dan minimnya asuransi kesehatan akibatnya bisa gawat. “Kalo terlalu keras dan rewel tanya-tanya, bisa kena ban, tidak di-calling lagi!" Katanya dengan nada pahit, lewat senyum kecilnya.
Di wilayah kreatif dan setelah membaca skenario, ia langsung membayangkan setting cerita berada di area yang terpencil, dikelilingi bukit-bukit dan kegersangan. Pilihan itu menjadi cocok dan menakutkan karena pada realitasnya, lokasi itu benar-benar terisolasi: tak ada jaringan internet dan rawan banjir. Isolasi fisik adalah metafora isolasi pikiran.
Di tengah kentalnya nuansa politik, Dimas, seorang yang mengaku petani dari Magelang, justru melontarkan kritik. Ia merasa teror dalam cerita tidak tergambar jelas. Dari perspektif politik, ia menuturkan bahwa struktur desa dan kondisi mencekam tidak memiliki argumentasi yang solid, meskipun ada tanda tentang “daftar warga yang hilang”. “Ingatan kolektif apa yang sebenarnya ingin dibahas? Apa yang melatarbelakangi warga desa begitu takutnya untuk bersuara?”
Ayesha, sang sutradara, menegaskan niatnya. Ia berterus terang bahwa film ini tidak dibuat dalam kerangka “film politis” —film yang secara eksplisit membicarakan topik terkait politik kebijakan dan peristiwa politik. Ia sadar betul kapasitas dan pemahamannya tentang perpolitikan negara ini yang ia tak bisa handle sepenuhnya. Ia sadar betul posisinya dan memilih untuk tidak berani mengambil risiko terlalu jauh. Karena itu, ia pun memilih fokus-penuh di wilayah crafting cerita, dan menceritakannya secara tidak langsung dan soft spoken.
Pada komentar Ayesha tadi, Sofhy Pratiwi, sang produser film, membubuhi pernyataan yang lebih blak-blakan. Ia mengakui bahwa sejak development naskah, cerita Suintrah memang memiliki basic story politik yang kuat. Tetapi, setelah naskah skenario jadi, ia menyatakan agak ketakutan. Takut apabila ketika film jadi dan dipertontonkan ke publik, ia akan menjadi sumber perhatian, lalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penggrebekan atau mengalami ancaman teror. Akhirnya, diputuskanlah bahwa film ini tidak mendaku diri sebagai film politik atau “horor tentang politik.” Pengakuan ini adalah insight yang sangat jujur tentang bagaimana isu keamanan dan ketidakpastian politik di Indonesia memengaruhi pilihan kreatif dan klaim genre sebuah karya seni.
Namun, realitas tetap merangsek masuk. Saat Suintrah diputar di BUSAN International Film Festival, respon penonton di sana adalah menanyakan hubungan film ini terkait peristiwa realitas perpolitikan Indonesia. Kurator pun blak-blakan: mereka memilih Suintrah karena perspektif melihat peristiwa pembungkaman melalui orang gila. Cara pandang yang unik melihat politik. Bahkan, baru-baru ini film ini diundang ke Jerman untuk perayaan Halloween, dianggap sebagai perwujudan tema horor dalam bentuk yang lain, tidak melulu wajah labu dan riasan yang menakutkan, tetapi trauma psikologis dan ketakutan sosial.
Kritik Dimas yang merasa cerita kurang mendalam karena durasi, disambut oleh Ayesha. Ia mengakui durasi adalah hambatan terbesar. Sulit bercerita leluasa. Ia lantas membocorkan rencana jangka panjangnya: akan ada Suintrah versi panjangnya. Sebuah potensi yang membuat teror ini bisa diceritakan dengan lebih utuh, lebih penuh, dan argumen ceritanya lebih tajam.
Di sisi lain, muncul ide menarik dari Bagas, programmer Permata, yang merasa Suintrah cocok jadi film anak-anak. Karena suasana hangat antara Jor dan Nayak, dan perjuangan sang ayah mencari anaknya yang hilang. Sang produser, menerima tantangan ini: “Sepertinya bisa kita coba untuk kita tontonkan untuk anak-anak. Siapa tahu kita dapat insight yang menarik dan di luar nalar orang dewasa.” Secara umum, film ini mereka targetkan untuk semua umur, atau 13 tahun ke atas. Sebuah film yang membawa pesan berat, namun bisa diserap oleh mata yang polos.
Mau tidak mau, suka tidak suka, jika bicara film Suintrah pasti akan ada ide-ide yang mengarah kepada wawasan umum terkait politik, terutama yang terjadi di Indonesia. Kita bisa saja mengaku tidak mau mencampuri urusan politik, tetapi segala hal yang kita terima —mulai dari harga pupuk sampai ancaman teror pinjol— itu semua urusan politik. Semuanya berujung kepada keputusan politik, kebijakan pemerintah.
Bahasa politik di setiap kultur bisa jadi berbeda-beda: Petani bicara tentang politik lewat keluhan mereka terkait mahalnya pupuk dan kualitas benih yang jelek; Para kepala rumah tangga protes mahalnya sembako dan jeleknya bensin; Mahasiswa, buruh, dan warga adat dengan demonstrasi turun ke jalan. Berbeda-beda namun memiliki esensi yang sama: gugatan atas sistem yang menindas.
Film Suintrah pasti membawa kita kepada suatu era pada waktu itu, di mana banyak terjadi pembungkaman. Meskipun kebanyakan generasi kita tidak pernah mengalaminya, imajinasi itu nyatanya ada. Hari ini, era Orba Baru (Orde Baru Baru), disebut-sebut sudah muncul. Dan, saat ini pun, kisah pembungkaman pendapat muncul di mana-mana, dan sepertinya akan terus terjadi.
Suintrah bisa jadi prediksi masa depan, masa lalu yang terus menerus berulang. Mungkin, tinggal nunggu waktu saja kita-kita ini kena ciduk. Sssst! Amit-amit! Berkat Suintrah, kita tahu bahwa teror itu datang dalam kesunyian, dan pembungkaman itu berjalan dalam skema sirkular yang diwariskan.
Film Suintrah sesungguhnya bukan hanya tontonan horor. Ini adalah cermin yang retak. Mereka menunjukkan pada kita bagaimana ketakutan bisa diwariskan, bagaimana trauma kolektif menciptakan "normalitas" yang ganjil, dan bagaimana strategi bisikan dan kelemahlembutan menjadi satu-satunya cara untuk bertahan.
Kita belajar dari Jor dan Nayak, bahwa terkadang, upaya mencari kebenaran harus dibayar mahal dengan kehilangan. Suintrah tidak berteriak lantang; mereka berbisik. Dan bisikan itu, ironisnya, terasa jauh lebih nyaring dan menusuk daripada teriakan paling keras sekali pun.
Reportase selesai.
Di luar, gerimis mungkin sudah reda, tapi di kepala, keheningan desa Suintrah baru saja dimulai.
Kamu sekarang boleh kembali bersuara keras, atau tetap memilih berbisik. Pilihan di tanganmu.




